Vertical Farming: Saatnya Hasilkan Pangan Meskipun Lahan Terbatas

Apa yang terjadi jika populasi bertambah? Satu hal yang sangat mungkin terjadi yaitu lonjakan kebutuhan pangan ditambah dengan berkurangnya lahan pertanian akibat dialihfungsikan menjadi pemukiman penduduk. Dalam keterbatasanpun kebutuhan pangan harus tetap terpenuhi. Budidaya tanaman dengan cara konvensional yang membutuhkan lahan mungkin tidak akan berlaku di masa depan meningat jumlah lahan yang bisa ditanami berkurang. Untuk itu, perlu inovasi budidaya tanaman yang minim atau bahkan tidak perlu menggunakan lahan khusus. Kira-kira bagaimana caranya?
Mengenal Vertical Farming
Vertical farming secara bahasa diartikan sebagai pertanian vertikal. Pertanian vertikal menjadi salah satu inovasi budidaya tanaman dalam lingkungan yang terkontrol dan tertutup. Beberapa vertical farming bahkan memiliki kontrol buatan berupa kontrol cahaya, pengendalian lingkungan, dan fertigasi. Jika kamu tidak punya cukup lahan dan ingin budidaya tanaman di ruang terbatas, vertical farming bisa menjadi solusinya.
Sesuai dengan namanya, budidaya tanaman dengan vertical farming dilakukan dengan penataan tanaman budidaya secara bertingkat (vertikal). Biasanya vertical farming dilakuakan pada dinding atau rak susun. Saat ini vertical farming masih didapati di kota-kota besar negara asing seperti Belanda, Inggris, Cina, Korea Selatan, Jepang, Italia, Singapura, dan masih banyak laagi. Sebenarnya vertical farming berpotensi besar dikembangkan di Indonesia yang beriklim tropis. Namun, hingga saat ini masih sedikit penerapannya di Indonesia. Lalu, bagaimana vertical farming bisa diterapkan di Indonesia?
Instalasi Vertical Farming
Konsep vertical farming memang tidak jauh berbeda dengan rumah kaca yang disusun ke atas. Dinding yang digunakan utuk vertical farming terbuat dari Ethylene Tetrafluoroethylene (ETFE) atau plastik transparan sebagai pengganti kaca. Plastik EFTE tidak meneruskan cahaya matahari menjadi warna kuning, sehinga membantu tanaman berfotosintesis. Menerapkan vertical farming di Indonesia tidak perlu pusing memikirkan kelancaran proses fotosintesis, karena sinar matahari tersedia selama lebih dari 6 jam per harinya. Mungkin akan terkendala vertical farming yang diletakkan di bagian tengah gedung yang sulit ditembus oleh sinar matahari. Untuk vertical farming yang ada di bagian tengah gedung bisa menggunakan manipulasi cahaya matahari agar tetap bisa melakukan fotosintesis.
Turbin atau kincir angin perlu dipasang di atap atau di samping gedung tempat vertical farming dipasang. Tujuan pemasangan turbin untuk menyalakan lampu LED dan memompa air dari bawah dan mengaliri instalasi vertical farming. Sama halnya sistem hidroponik, vertical farming biasanya menggunakan air sebagai media tanam karena lebih ringan dibandingkan tanah.
Ragam Vertical Farming
Meskipun hanya budidaya tanaman yang ditumpuk, ada banyak jenis vertical farming yang biasa diterapkan. Beberapa diantaranya juga bis diterapkan di Indonesia, lho. Apa saja ragam vertical farming?
Vertical farming pada bangunan
Seorang arsitek bernama Ken Yeang menjadi yang pertama mengusulkan ide budidaya tanaman di udara terbuka, di gedung pencakar langit agar iklim dan nutrisi tanaman terukur. Biasanya vertical farming pada bangunan dilakukan di rumah atau gedung fasilitas umum.
Vertical farming pada gedung pencakar langit
Ide vertical farming di gedung pencakar langit dipaparkan oleh Dickson Despommier. Despommier berpendapat vertical farming boleh saja dilakukan untuk alasan lingkungan. Dengan vertical farming, energi yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan lebih sedikit dan menghasilkan sedikit jejak karbon dibandingkan metode budidaya lainnya. Menurut Despommier, vertical farming kan mengembalikan lahan pertanian kembali ke aslinya (hutan) dan meminimalisir dampak perubahan iklim.
Verrtical farming pada peti kemas
Peti kemas biasanya digunakan untuk mengangkut banyak barang lintas moda transportasi laut, darat, dan udara. Kalau pernah ke pelabuhan, pasti tahu ada banyak tumpukan peti kemas tidak digunakan lagi. Nah, untuk megurangi jumlah peti kemas tidak terpakai, ternyata bisa dimanfaatkan kembali sebagai media vertical farming.
Ada salah satu perusahaan logistik yang menerapkan vertical farming di dalam peti kemas berukuran 12 meter x 2,4 meter sehingga menghasilkan “mesin hijau berdaun” . Di dalam peti kemas tersebut, vertical farming dilakukan dengan metode hidroponik vertikal, pencahayaan LED untuk menggantikan peran sinar matahari, serta kontrol iklim intuitif.
Vertical farming bawah tanah
Selain di gedung, ada yang melakukan vertical farming di bawah tanah, lebih tepatnya di lubang tambang yang tidak terpakai. Dengan vertical farming bawah tanah, suhu dan lokasi bawah tanah lebih konsisten daripada vertical farming yang dilakukan di gedung maupun rumah. Vertical farming bawah tanah pertama kali dilakukan di tempat perlindungan bom Perang Dunia II dengan kedalaman 33 meter.
Untungnya vertical farming bisa digunakan untuk budidaya tanaman sayuran, seperti bayam, selada, kale, sawi putih, lavender, kemangi, dan bumbu rempah-rempah lainnya. Tak hanya terbatas pada tanaman sayuran, tanaman buah-buahan seperti stroberi, tomat, seledri, mentimun, dan buah lainnya juga bisa dibudidayakan dengan cara vertical farming. Selain vertical farming, ada cara lain budidaya tanaman dengan menggunakan Urban Farming: Solusi Budidaya Tanaman dengan Lahan Terbatas. Tertarik budidaya tanaman di lahan terbatas? Coba cek artikel di blog Gokomodo untuk tutorialnya, ya!